Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih-sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
dikutip dari Psikologi Komunikasi,
 Jalaluddin Rahmat. Hlm. 102-103
Tulisan di atas adalah sebuah puisi indah karya Dorothy Law Nolte yang menceritakan proses terbentuknya karakter seorang anak.
Meeting hari ini memang saya mendapatkan sesuatu. Sebuah renungan yang tiba-tiba menarik perhatian untuk menelaahnya lebih dalam. Yaitu tentang "Pembangunan Karakter Anak". Dan dalam dalam kaitannya dengan proses pembangunan karakter anak, apa yang di katakan oleh Dorothy adalah sangat benar adanya. Tanpa penjelasan berpanjang lebar, cukup dengan membacanya saja, saya yakin, anda semua pasti dapat menangkap dan memahami apa isi dan pesan yang terkandung dalam baris-baris kalimat tersebut.
Pada dasarnya, baris kalimat tersebut mencoba menggambarkan bahwa seorang anak akan tumbuh dan besar berbekal dari hal-hal yang ada di sekitarnya. Orang tua, kawan sebaya, lingkungan, dan segala media yang dilihatnya adalah cermin yang selalu ia pandang dalam kesehariannya.
Mari kita coba menelaah, bagaimana sebaiknya menerapkan baris-baris kalimat tersebut dalam proses mendidik anak.
Sebagai contoh kasus. Satu hal yang mungkin masih terbiasa kita lakukan adalah memberikan penegasan terhadap kesalahan atau hal negatif yang dilakukan oleh seorang anak. Mungkin dengan berkata, "Jawabannya salah tuh !" Sungguh sebuah kalimat fatal. Satu kalimat yang dapat mengakibatkan beberapa dampak buruk, antara lain:
- Anak akan merasa dirinya dicela. Dengan begitu, kelak ia belajar bahwa setiap kesalahan harus dihargai dengan sebuah makian.
- Anak akan merasa dicemooh atas kesalahan yang diperbuat, dengan begitu ia mulai merasa rendah diri.
- Anak akan merasa dirinya terhina, dan setelah itu ia menyesal atas usaha yang telah ia lakukan.
- Ketika anak melakukan kesalahan, maka jangan lontarkan sebuah kalimat yang "menyalahkan". Kita dapat sedikit merubahnya dengan kalimat seperti berikut.. "waduh, itu masih belum benar, coba diulangi lagi yah." Dengan begitu, dia akan merasa mendapatkan toleransi dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang ia lakukan. Di samping itu, ia tidak akan merasa dirinya dicela, dihina dan dicemooh.
- Biasakan untuk mengajak anak secepatnya saling berjabat tangan dan meminta maaf ketika mereka berkelahi, dengan demikian anak tidak akan terbiasa dengan kehidupan saling bermusuhan.
- Cobalah merubah "hukuman" menjadi berwujud "hadiah". Dalam hal ini, hadiah tidak selalu diartikan sebagai pemberian dalam bentuk barang. Namun, hadiah dapat diartikan dengan memberi sebuah pekerjaan ekstra yang dapat membuatnya memperbaiki kesalahannya. Dengan demikian ketika seorang anak seharusnya mendapatkan sebuah "hukuman", ia akan tetap merasa diperlakukan dengan baik, merasa mendapat dorongan, merasa percaya diri dan merasa dihargai atas apa yang berusaha dilakukannya.
Berikut ini beberapa artikel serupa yang saya temukan melalui google:
- Kasih sayang, metode efektif dalam mendidik
- Orang Tuaku, Teladanku
- Keluarga harmonis Cegah kenalan Remaja