29 January 2007

Renung

Rembulan remang menggantung
menatap tanah merah
memanggil mentari.

Pasar, komunitas yang terdiri dari berbagai macam lapisan. Datang atas nama kebutuhan dan untuk kepentingan sendiri. Setiap tata laku berpijak diatas cost and benefit, tak lebih. Berkisar antara prosentase memberi-menerima perbincangan terjadi. Kawan adalah musuh yang belum ditaklukkan.
"Dekati dia yang kuat untuk berlindung. Dan jika suatu saat kamu menjadi kuat, maka hancurkanlah ia", begitu kira-kira kapitalisme bersabda. Tata nilai mengalami pergeseran, dari saling membantu ke arah egoisme:perut. Sebuah fenomen kebersamaan semu.
Ketika pembeli mendapat barang dengan harga yang relatif murah -karena kelihaian menawar mungkin- ketika itu ia merasa untung. Namun pada saat yang sama si penjual merasa rugi atau dirugikan. Lantas siapakah yang sebenarnya untung ?

Hari-hari ini semakin banyak pula istilah-istilah yang membingungkan. Sekarang kita punya aneka pengertian tentang baik, buruk, keterbukaan, kesetiaan. semangat berkorban sudah habis tergadai demi mencicil pembangunan yang dianggap sebagai kemajuan. Peta stratifikasi sosial mugkin tak ubah seperti kondisi kekejaman purba: kuat menindas lemah. Sebuah ketidakadilan sekaligus motivasi dan seleksi untuk menjadi kuat lantas menghantam yang lain. Dominasi itu perlu!.
Persis perjalanan sejarah manusia yang sembab dan berdarah.

Barangkali tak usah terlalu mempertegas tentang etika. Karena visual adab tak jauh beda dengan rabaan beberapa orang buta tentang gajah: beraneka dan nisbi. Saling menasehati adalah sok pintar dan bijak. Maka yang ada hanya diam dan dengarkan. Niscaya siap ‘tuk tabah jika standar adalah akhlak yang bermuara hati. Seperti kerasnya nada cakap antara kumsyari dengan seorang ibu dengan setumpuk barang di sebuah angkutan yang sesak.

Saya pernah 'kagum' pada seseorang atau tepatnya sebuah kelompok. Mereka yang begitu fasih mengatasnamakan diri sebagai penarik lokomotif Islam progresif - mungkin juga bukan, karena bagi saya mereka tak ubah seperti tukang jahit kain-kain kecil pemikiran orang dulu yang ditambal sulam menjadi kain yang lebih besar - atas nama dialektika teks dengan konteks menjadikan standar kepantasan umum sebagai tolok ukur tata kesopanan dalam berpakaian. Bukan karena mereka sejatinya bibir saya cemberut, namun rupanya kesimpulannya yang mulai mengusik. Standar umum selalu bergerak dan berubah seiring perubahan cara pandang manusia terhadap alam. Tidak menutup kemungkinan bahwa bikini akan menjadi busana yang dianggap biasa atau bahkan sopan kelak. Sebagaimana ada kemungkinan kecil pula bahwa model busana tertutup akan trendy. Tergantung siapa yang yang menguasai zaman dan sistem informasi.

Bahwa hari-hari ini kita semakin dipaksa untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu oleh sebagian orang. Bentuk dan warna yang marak diminati konsumen adalah hasil kerja para ahli dari sebuah lembaga tertentu. Dan kita dipaksa untuk meminatinya. Bagaimana tidak, yang dipromokan dan terpampang di etalase itulah yang menjadi pilihan. Serupa warna perak yang tiba-tiba kita anggap bagus dan amat meyakinkan penampilan di saat-saat milenium ketiga bermula.
Bahkan aneka peristiwa dunia setelah dipilah pilih baru diberikan kepada kita untuk konsumsi. Berita tak ubah seperti daftar menu yang ditentukan oleh produser dan disajikan oleh para redaktur kepada kita. Mereka membentuk dunia kita. Sehingga kita memandang alam semesta dengan visual yang mereka rencanakan dan sajikan.
Hasrat murni kita terbajak. Mungkin bukan sekedar hasrat. Tapi saya kurang yakin, apakah bisa kita mengistilahkannya dengan prinsip. Entah....

Sekali saya melihat beberapa orang yang kelihatan akrab masuk ke sebuah rumah makan. Tidak terlalu mewah restoran itu. Sea food rupa-rupanya menu utama. Mengelilingi meja persegi panjang mereka duduk. Beberapa lama mereka menunggu setelah mencoret masakan yang dipesan di list menu. Tahu apa yang terjadi? Ternyata mereka yang kelihatan akrab itu, rupanya asik dengan layar ponsel masing-masing. Mengerutkan dahi, senyum, tawa, sedikit serius. Bukan dengan kawan disamping, namun dengan monitor handpone masing-masing. Lihat, benda mungil itu telah mencegah mereka untuk saling bertutur sapa laiknya seorang sahabat. Begitu mini, entah bagaimana dengan 'sesuatu' yang lebih besar. Keinginan atau kelas umpamanya.

Tentu pernah ada masanya gambaran di atas kita saksikan. Di sekitar kita yang dekat. Toh hidup sarat dengan tarik ulur kepentingan. Mungkin dikubur saja cinta pada obsesi-obsesi keadaan yang lebih baik serta impian-impian kreatif itu. Harapan niscaya ada. Tapi bisakah dibumikan, itu kiranya yang menjadi soal. Adapun keakraban dan persaudaraan, mari dicari. Sehingga kita tak lagi merasa aneh dengan budaya nasehat-menasehati.


Oleh. La Ortav

baca selengkapnya...
Sekar Arum Sari

0 comments:

Post a Comment